Membangun Generasi Rabbani

generasiKHAWATIR BILA MENINGGALKAN GENERASI YANG LEMAH

 

Wahai saudaraku! Apakah kita tidak khawatir dengan lingkungan disekitar kita? Bila satu saat mereka menjadi generasi yang jauh dari Ajaran Islam.Apakah kita tidak risau bila meninggalkan anak-anak dan cucu-cucu kita yang selalu mengikuti keinginan hawa nafsunya, dan jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah?

 

Dalam hal ini Allah SWT mengingatkan kepada kita dalam firman-Nya:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa`: 9)

 

Imam Ibnu Katsir –rahimahullah-, ia berkata, berkata, “Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang menjelang ajalnya, lalu kedengaran seorang lelaki bahwa dia mengucapkan suatu wasiat yang menimbulkan mudharat terhadap ahli warisnya. Maka Allah SWT memerintahkan kepada orang yang mendengar wasiat tersebut, hendaknya dia bertakwa kepada Allah, membimbing si sakit serta meluruskannya ke jalan yang benar. Hendaknya si sakit memandang kepada keadaan para ahli warisnya sebagaimana diwajibkan baginya berbuat sesuatu untuk ahli warisnya, bila dikhawatirkan mereka akan terlunta-lunta.

 

Dalam kitab Sahihain disebutkan: “Ketika Rasulullah saw masuk ke dalam rumah Sa’ad Ibnu Abi Waqqas ra dalam rangka menjenguknya, maka Sa’ad bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta, sedangkan tidak ada orang yang mewarisiku kecuali hanya seorang anak perempuan. Maka bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Tidak boleh.’ Sa’ad bertanya. ‘Bagaimana kalau dengan separonya?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Jangan.’ Sa’ad bertanya, ‘Bagaimana kalau sepertiganya?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Sepertiganya sudah cukup banyak.’ Kemudian Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu membiarkan. mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang.”

 

Dalam kitab Shahih dari Ibnu Abbas mengatakan, “Seandainya orang-orang menurunkan dari sepertiga ke seperempat, maka sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, ‘Sepcrtiganya sudah cukup banyak’.”

 

KALIAN ADALAH UMAT TERBAIK

 

Allah SWT telah menjelaskan kepada kita bahwa Kalian semua adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia. Sebagaimana firman-Nya:

 

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

 

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali ‘Imran: 110)

 

Dalam ayat tersebut dijelaskan ada dua kriteria tentang umat terbaik itu. ialah:

Umat yang menyuruh manusia kepada perkara yang ma’ruf, Maksudnya ialah dia mengajak umat manusia ini untuk selalu melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-Nya secara Kaffah.

Umat yang terbaik, juga merupakan umat yang tidak membiarkan kemunkaran itu terjadi. Mereka selalu berdakwah agar manusia tidak melakukan perbuatan yang munkar, karena kemunkaran hanya akan mengundang murka Allah SWT.

 

MEMBANGUN GENERASI RABBANI

 

Semenjak keruntuhan khilafah Islamiyah, kemerosotan peradaban dan akhlak islamiyah dikalangan umat semakin menjadi-jadi. Kemaksiatan dan kemungkaran merajalela demikian maraknya, sampai-sampai terjadi talbisul haqqa bil bathil (percampuradukan kebenaran dengan kebathilan) dan bahkan kitmanul haqqo (menyembunyikan kebenaran) pun sudah menjadi hal yang lumrah, baik dikalangan ulama, ’umara maupun ummat. Dampak dari itu semua terpampang didepan mata kita yaitu mengorbitnya generasi yang tidak takut terhadap adzab dan dosa sekalipun akbarul kabaa’ir. Benarlah sabda Rasulullah saw yang memberikan sinyaleman mengenai kondisi kaum muslimin ketika mendekati akhir zaman laksana hidangan yang dikerumuni orang-orang yang rakus.

 

Terlepas dari itu semua, usaha-usaha ke arah pembangunan kembali dan peradaban dan akhlak Islamiyah merupakan kewajiban yang tidak terelakkan. Hal yang sangat mendesak untuk segera dilaksanakan adalah mencetak “Generasi Rabbani” yang mampu mengemban amanahyang sangat besar ini. Selaku “Generasi Rabbani” ia harus memiliki syakhsiyyah Rabbaniyyah (kepribadian Rabbani) karena hanya syakhsiyyah Rabbaniyyah ia akan mampu mengembalikan kejayaan umat dan menegakkan ’izzah Islam. Prototypenya dalam tarikh Islam bertebaran, mulai dari Anbiyaa’, para shahabat Rasulullah dan tabi’in sampai para ulama salafus shaalih.

Secara mujmal (global mereka baru disebut syakhsiyyah Rabbaniyyah setelah memenuhi tiga khasha’ishuha (kriterianya) yaitu:

 

  1. Al-Islamu Qoo’imun fi Nafsih

 

Islam tegak dalam diri, maksudnya ia harus diimplementasikan oleh para Generasi Rabbani dalam kehidupan sehari-harinya, dengan catatan harus benar, baik secara aqidah maupun syari’ah. Benar dalam aqidah, berarti dalam setiap Generasi Rabbani harus berpegang teguh kepada aqidah Islamiyah yang hanif (QS Al-An’am: 161) tanpa embel-embel paham-paham atau ajaran-ajaran sesat dan menyesatkan ummat.  Benar dalam syar’i, berarti bahwa dalam menjalankan syari’at harus sesuai denagn ketetapan Rasulullah saw tanpa menyertakan atau menyandingkannya dengan fatwa-fatwa yang mengikuti hawa nafsunya, tapi ada kepasrahan dan ketundukan pada aturan Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

 

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 208) Benar secara aqidah dan syari’ah merupakan syarat mutlak, jika salah satunya cacat maka batallah ia.

 

Selain itu, hendaknya pula Generasi Rabbani menumbuhkembangkan sikap tawadhu’ terhadap al-haq dan sikap wara’ terhadap selainnya dalam dirinya. Lalu budayakan suasana ruhiyyah yang kental diantara para Generasi Rabbani seperti: meningkatkan itensitas ibadah nafilah (sunnah), mentadabburi ayat-ayat tarhib dan targhib, mengingat kematian dan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengannya serta merenungkan kehidupan sesudahnya.

 

Kemenangan tidaklah ditentukan oleh kecanggihan senjata dan melimpahnya prajurit, tetapi ruhiyyahnya yang begitu tinggi dalam menjaga segala perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi segala amal yang sia-sia.

 

  1. Al-Hirsu ’Alaad Dakwah

 

Kriteria kedua dari syakhsiyyah Rabbaniyyah adalah bahwa Generasi Rabbani harus memiliki kemampuan yang membaja untuk berdakwah, tanpa ini ia akan cepat patah semangat kemudian berjatuhan bak daun kering. Allah berfirman:

 

 

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushilat: 33)

 

Ayat diatas merupakan kalimat pertanyaan retoris yang jawabannya ada dalam pertanyaan tersebut. Dakwah merupakan pekerjaan terbaik dari seluruh perkerjaan yang ada, dan ia sudah menjadi kewajiban setiap muslim sebagaimana amanat Rasulullah disaat haji wada’ yang berbunyi, “Hendaklah kalian yang menyaksikan menyampaikannya kepada yang tidak hadir”.

 

Setelah kesadaran akan wajibnya dakwah serta kemauan yang keras untuk mengembangkannya, maka langkah selanjutnya adalah memahami watak dakwah. Dakwah bukanlah sebuah perjalanan yang mulus tanpa hambatan, melainkan ia dipenuhi onak dan duri yang ditebar baik secaa sengaja maupun secara tidak sengaja oleh mereka yang tidak ridha terhadapnya. Onak dan duri tersebut dapat berbentuk fitnah (gangguan eksternal) yang cenderung destruktif, namun dapat pula berbentuk mihnah (gangguan internal) lebih bersifat kontruktif, akan tetapi kesemuanya ini selain sebagai sunnatullah juga bermaksud untuk meningkatkan kualitas aqidah dan dakwah sang Generasi Rabbani. Lagi pula bukankah yang namanya ujian itu dimaksudkan untuk menaikkan level dan bukan sebaliknya.

 

Syakhsiyyah Rabbaniyyah adalah mereka yang berkesadaran dan berkemajuan untuk melakukan dakwah Islamiyah, sedangkan program dakwah yang dilakukannya hendaknya diarahkan pada terbentuknya Syakhsiyyah-syakhsiyyah Rabbaniyyah yang baru. Dengan demikian peluang kearah pembangunan kembali peradaban Islamiyah senmakin menjadi sebuah keniscayaan.

 

  1. Al-Isti’dad Lil Mauti fi Sabiili Ad-dakwah

 

Satu hal yang membuat kondisi umat demikian kronisnya laksana hidangan yang dikerumuni orang-orang yang rakus, tidak lain adalah karena kualitas umat itu sendiri yang laksana buih di lautan. Kualitas yang demikian rendahnya berkembang karena telah mewabahnya penyakit “wahn” yaitu ‘hubbudunya wa karahiyatul maut’(cita dunia dan takut mati), demikian siyalemen Rasulullah empat belas abad yang lalu. Dalam bahasa yang lain ulama salaf menyebutnya dengan “umat telah meletakkan dunia di dalam hatinya, sedang para shahabat meletakkannya dalam genggaman”.

 

Maka kiteria selanjutnya yang harus dimiliki Generasi Rabbani agar ia dapat disebut sebagai syakhsiyyah Rabbaniyyah adalah rela untuk mati karena dakwah. Allah berfirman:

 

 

 

 

“Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang Telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)” (Al-Ahzab: 23)

 

Seorang Generasi Rabbani harus tampil di muka memberikan. Pertemuan di Darun Nadwah telah menelurkan keputusan bahwa Muhammad harus dibunuh, dalam melaksanakannya, kaum kuffar Quraisy bersepakat bahwa setiap kabilah yang ada harus mengirim satu orang pemuda yang membunuhnya. Hari yang telah ditentukan tiba dan kediaman rasul pun dikepung dari segenap penjuru olah para kuffar Quraisy, dengan kecermatan perhitungan, Rasulullah memerintahkan Ali untuk tidur ditempat Rasul dan ia pun dengan penuh ketaatan melakukannya. Malam berlalu tanpa ada prahara, tapi ‘ibrah dibalik peristiwa itu  sangat banyak.

 

Sepenggal kisah diatas agaknya dapat menghibur hati yang ikhlas. Demikian ridhonya Ali menggantikan posisi Nabi saw yang ketika itu hendak dibunuh, yang beliau lakukan tiada lain ialah demi kelangsungan dakwah Islamiyah. Kematian adalah suatu kepastian, ia bukanlah akibat dari suatu hal atau perbuatan tertentu dan ia bukanlah sebuah resiko.

 

Ketiga kriteria itulah yang akan membentuk seseorang menjadi syakhsiyyah Rabbaniyyah, dan Generasi Rabbani harus memilikinya agar tegaknya Dinul Islam.

 

Wallahu A’lamu

One thought on “Membangun Generasi Rabbani

Komentar ditutup.