WAKAF KOLEKTIF PEMBANGUNAN MASJID, ASRAMA YATIM DAN SEKOLAH ISLAM TERPADU
Sekilas Tentang Wakaf Tunai
Wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” berarti “al-Habs” yang artinya menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang, atau yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu. Dalam syariah Islam, menahan suatu barang dan mengambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan (Tahbiisul Ashl Wa Tasbiilul Manfa’ah).
Secara umum wakaf termasuk infaq fi sabilillah, dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentanginfaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 267)
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 261)
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Secara khusus, dalam sejarah Islam, wakaf disyariatkan setelah Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam berada di Madinah. Nabi Muhammad SAW sendiri yang mempraktikkan wakaf pertama kali, yaitu ketika Nabi Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid di atasnya.
Selain itu diriwayatkan oleh Ibnu Umar r. a. bahwa Umar bin al Khathab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah Saya memperoleh tanah di Khaibãr; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apá perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya. Ibnu Umar berkata “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (basil) tanah itu secara ma ‘ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.
Imam Syafi’i berkata, ”Sesudah itu 80 (delapan puluh) orang sahabat di Madinah terus mengorbankan harta mereka dijadikan wakaf pula.
Nabi Muhammad SAW pada tahun ketiga hijriah juga mewakafkan tujuh kebun kurma di Madinah, diantaranya ialah kebun A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebun lainnya.
Selain dasar dari Aal-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
WAKAF TUNAI/KOLEKTIF
Istilah wakaf uang belum dikenal di zaman Rasulullah. Wakaf secara umum kemudian berkembang menjadi wakaf tunai. Seperti dikemukakan pendapat Imam al-Zuhri bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih.
Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud r.a:
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”. Pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i: “Abu Tsar meriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)”. Wakaf tunai (uang) telah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah.
Di Indonesia, selain diatur UU No. 41 tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia telah lebih dulu mengeluarkan fatwa tentang Wakaf Uang, pada 11 Mei 2002.
Isi dari Fatwa MUI tersebut adalah :
1. Wakaf Uang (Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh)
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Hikmah Wakaf
1. Perwujudan Ketaatan kepada Allah SWT sebagai bukti keimanan yang kuat. Semua harta benda yang dimilki pada hakikatnya adalah karunia dari Allah SWT dan hanya bermanfaat ketika kita masih hidup. Rasa syukur kita atas karunia itu adalah kita menaati semua perintah-Nya.
“ Katakanlah kepada hamba-hambaku yang beriman : Hendaklah mereka mendirikan sholat, menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, secar sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” ( Qs. Ibrahim 14:31)
2. Shadaqah Jariyah. Amalan wakaf yang tidak terputus meskipun sudah meninggal dunia menjadi salah satu amalan yang bisa membuat manusia selamat di dunia dan akhirat. “Diriwayatkan dari Abu Huralrah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda; “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya.” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa`i, dan Abu Daud.)
3. Harta yang diwakafkan akan terjaga keberadaannya dan terpelihara keberlangsungannya karena semua yang telah diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan.
4. Wakaf merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan agama dan umat. Antara lain untuk menjaga tali persaudaraan, pembinaan mental spiritual, penyediaan fasilitas umum dan mengembangkan ekonomi umat secara umum.
5. Wakaf dalam bidang pendidikan secara langsung membantu kaum muslimin untuk mempermudah mendapatkan pendidikan yang berkualitas juga mendukung terwujudnya masyarakat yang beriman, berilmu, dan beramal, sekaligus mewujudkan negara yang baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.