Apa bedanya zakat dengan pajak?
GIS FOUNDATION–Zakat adalah salah satu rukun Islam dan bangunan yang agung, di mana kedudukannya dalam Islam setelah dua kalimat shahadat dan shalat. Zakat ditetetpkan kewajibannya dalam Kitab, Sunnah dan Ijma’ Umat Islam.
Sementara pajak yang ditetapkan oleh pemerintah dan diwajibkan kepada orang-orang. Secara umum adalah kewajiban harta yang diwajibkan oleh Negara kepada seseorang dan perusahaan dengan tujuan untuk pendanaan pengeluaran negara seperti pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, jalan-jalan dan semisalnya.
Zakat secara etimologis berarti bersih, suci, berkah, tumbuh, maslahat, dan berkembang. Ini sejalan dengan firman Allah SWT pada surah Ar-Ruum 39 dan At-Taubah 103. Sedangkan pajak, berasal dari kata ‘al-dharibah’ yang secara etimologis berarti beban.
“Kadangkala pajak juga diartikan al-Jizyah yang berarti upeti, yang diserahkan oleh dzimmah (non-Muslim yang tunduk dalam pemerintah Islam),” demikian menurut Prof KH Didin Hafidudin dalam bukunya “Anda Bertanya Zakat, Infak, Sedekah, Kami Menjawab”.
Dari segi hukum dan kewajiban, menurut Prof KH Didin Hafidudin, zakat ditetapkan berdasarkan nash-nash Alquran dan Hadis Rasulullah yang bersifat Qathi. Dengan demikian, kewajibannya bersifat mutlak atau absolut dan sepanjang masa.
Ulama Mesir, Yusuf al-Qaradhawi menyatakan, zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus. “Ia akan berjalan selama Islam dan Muslimin berada di muka bumi,” kata al-Qardhawi.
Sementara pajak, kata Prof Didin, keberadaanya sangat tergantung pada kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Di Indonesia, misalnya, hukum pajak merujuk pada Pasal 23 ayat 2 UUD 1945.
Dari sisi objek dan Pemanfaatan, ungkap Ketua Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) ini, zakat memiliki kadar minimal dan persentase yang sifatnya baku, seperti zakat emas perak 85 gram dan persentase zakatnya 2.5 persen.
“Juga demikian untuk zakat lainnya, ” kata Guru Besar IPB tersebut.
Sedangkan, aturan pajak bergantung dari peraturan yang ada dan obyek pajaknya. Misalnya, pajak pribadi, pajak kendaraan, pajak atas kekayaan, dan pajak konsumsi.
Selanjutnya, pemanfaatan zakat harus dipergunakan untuk kepentingan mustahik yang berjumlah delapan asnaf. Sementara pajak, dapat dipergunakan seluruh sektor kehidupan.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya, “Apakah zakatnya seseorang diterima atau tidak (yang dikeluarkan dari kewajiban) yang dibebankan penguasa kepadanya untuk membuat jalan?
Maka beliau menjawab, “Apa yang diambil oleh penguasa tanpa nama zakat, maka tidak termasuk zakat. Wallahua’lam. Selesai ‘Majmu’ Fatawa, (30/343).
Para Ulama’ Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ mengatakan, “Tidak diperbolehkan menganggap pajak yang dikeluarkan oleh pemilik dana terhadap dananya dari zakat yang diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya. Bahkan zakat yang diwajibkan harus dikeluarkan dan dibagikan kepada golongan penerima zakat yang sesuai dengan syareat. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah Subhanahu Wa ta’ala dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60). ‘Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, (9/285).[]
Sumber: Islamqa | “Anda Bertanya Zakat, Infak, Sedekah, Kami Menjawab” karya Prof KH Didin Hafidudin | Republika